Titi Indah Larasati
Pendidikan yang kita rasakan saat
ini, tidak dengan mudah bisa kita dapatkan. Apabila melihat jauh ke belakang,
dapat diketahui bahwa pendidikan yang saat ini dapat dengan nyaman dinikmati
didapatkan dengan penuh perjuangan. Pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan
diawali pada masa penjajahan Portugis di Indonesia saat itu pendidikan
dilaksanakan dengan semangat penyebaran agama oleh misionaris. (Makmur, Haryono, & Sukri Musa, 1993). Selanjutnya pada
abad ke-19, Belanda mengadakan pendidikan di Indonesia (Hindia Belanda) akan
tetapi terbatas untuk kepentingan pribadi kolonial dan materi pengajaran yang
diberikan juga sebatas baca, tulis dan hitung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan
yang ditawarkan hanya berfokus pada aspek akademis atau kognitif.
Keterbatasan pendidikan Indonesia pada akhirnya tidak mematikan semangat para
pejuang Indonesia termasuk pejuang pendidikan Indonesia. Banyak tokoh
pendidikan lahir ditengah keterbatasan pendidikan pada masa kolonial kemudian
mulai membangkitkan semangat belajar masyarakat seperti Soetomo pendiri Boedi
Oetomo, Suwardi Suryaningrat atau biasa dikenal Ki Hadjar Dewantara pendiri
Taman Siswa, K.H Ahamad Dahlan pendiri Muhammadiyah, R.A Kartini pendiri
sekolah perempuan.
Ki Hadjar Dewantara menjadi salah satu tokoh yang memiliki peranan penting
dalam perjalanan pendidikan Nasional. Pemikiran mengenai pendidikan tertuang
pada “Taman Siswa” yang didirikan pada tahun 1922 di Yogyakarta. Konsep
pendidikan yang ditawarkan adalah pendidikan inklusi dan dapat mengakomodasi
seluruh lapisan masyarakat. Lewat Taman Siswa juga Ki Hadjar Dewantara memperkenalkan konsep
among dan menempatkan anak-anak sebagai sentral dalam proses pendidikan.
Guru sebagai among siswa hendaknya mumpu menjadi contoh yang baik, mampu
menumbuh kembangkan minat anak serta memberikan dukungan pada peserta didik.
Perjalanan Pendidikan Nasional yang panjang dan tidak mudah menjadi salah
satu alasan saya sebagai calon guru melakukan refleksi pada diri. Pertama,
menjadi guru sama halnya menjadi penerus perjuangan para pejuang pendidikan
nasional. Kedua, profesi guru adalah profesi mulia yang menjadi peluang amal
bagi saya dalam menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan. Ketiga, dari konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara saya belajar bahwa menjadi guru tidak hanya
melakukan transfer knowledge, ada proses menumbuhkan dan membersamai peserta
didik hingga mereka dapat merasakan pendidikan yang merdeka dan menyenangkan. Kempat,
sebagai guru kelak saya harus terus bertumbuh bersama peserta didik agar dapat
pendidikan yang saya sampaikan dapat sesuai dengan konteks zaman.
Referensi
Makmur, D., Haryono,
P. S., & Sukri Musa, H. S. (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia
Zaman Penjajahan. Jakarta: CV. Manggala Bhakti.