Artikel Opini

Maafkan Setya Novanto: Sebuah Refleksi Diri
Titi Indah Larasati
Sabtu, 11 November 2017

            Beberapa bulan ini Indonesia tengah digemparkan oleh kasus korupsi e-KTP yang diduga melibatkan Setya Novanto. Setya Novanto adalah seorang politikus asal Jawa Barat, Indonesia yang diusung oleh salah satu partai di Indonesia. Ia menjabat sebagai ketua DPR RI untuk periode 2014 sampai 2019. Belakangan ini namanya sering disebut-sebut dalam berbagai pemberitaan berkaitan dengan kasus korupsi e-KTP. Setya Novanto diduga telah terlibat dalam  korupsi  dengan menguntungkan diri sendiri, orang atau korporasi yang merugikan negara sebanyak 2,3 triliun (liputan6.com, 17/7/17). Ia ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (CNN Indonesia, 17/7/17).
            Terhitung sudah 14 KPK memanggil Setya Novanto sebagai saksi, beberapa kali dipanggil sebagai terdakwa maupun sebagai tersangka. Meski demikian, nyatanya Setya Novanto hanya hadir sebanyak tiga kali sebagai saksi di penyidikan dan persidangan (Tempo.co, 15/11/17). Setya Novanto sering kali mangkir dari panggilan KPK dengan berbagai alasan seperti sakit, KPK harus meminta izin Presiden hingga hak imunitas sebagai DPR RI. Hal tersebut tentuya membuat sebagaian besar masyarakat Indonesia menjadi geram. Pasalnya, tindakan Setya Novanto yang selalu mangkir membuat penyelesaian masalah ini terkesan semakin  lambat.
            Korupsi besar-besaran ini dijalankan dengan sangat rapih dan elok hingga terlihat sulit ditangani. Dilansir dari detik.com, kasus korupsi e-KTP ini sudah dimulai sejak tiga tahun lalu dan menetapkan Sugiharto—Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Dirjen Dukcapil Kemendagri— sebagai tersangka pada Selasa, 22/4/14. Namun, penanganannya sempat terhenti 2,5 tahun. Korupsi e-KTP sendiri bukan lah hal yang mudah untuk dilakukan, hanya orang-orang pintar dan tak berhati yang bisa dan tega melakukannya. Di saat sebagian besar  masyarakat dan mahasiswa sedang berfikir keras untuk membangun Negara,  ada orang berdasi di balik meja yang sedang berfikir keras untuk memperkaya diri dengan uang Negara. Ironis memang, tapi beginilah adanya.
            Sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk pelajar dan mahasiswa nampaknya sedang asyik mengikuti step by step proses penyelesain kasus korupsi yang sangat merugikan Indonesia ini. Ditambah lagi notivikasi dari berita online yang selalu up-date perkembangan kasus ini. Mulai dari mangkirnya Setya Novanto dari panggilan KPK, penetapannya sebagai tersangka hingga “Drama” Setya Novanto menabrak tiang listrik pada hari Kamis, 16 November 2017 lalu. Kasus ini bahkan menjadi trending topic di berbagai media sosial, seperti Instagram, Line Today, History Whatsaap terutama Twitter. Bahkan, di malam Setya Novanto kecelakaan segera muncul berita-berita di media online seperti detik.com, kompas, dan lain sebagainya.
            Seakan-akan merasa paling di-dzalimi, banyak masyarakat membenci Setya Novanto. Rasa benci ini kemudian dituangkan ke dalam tulisan-tulisan hujatan di berbagai sosial media. Tidak hanya tulisan berisi hujatan, prasangka buruk bahkan lawakan lewat meme-meme yang memojokkan Setya Novanto semakin menjamur di sosial media. Apakah itu hal yang salah? Mungkin tidak, hal-hal tersebut adalah bentuk kekecewaan masyarakat akan korupsi yang terus tumbuh dan menjamur di Indonesia. Prasangka buruk terhadap Setya Novanto juga merupakan hal yang lumrah mengingat korupsi di Indonesia yang seakan tak berkesudahan.
            “Mencitai dan membenci sekedarnya saja” kata-kata tersebut mungkin sudah akrap di telinga kita. Selain itu, kita juga mengetahui bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidaklah  baik, terlebih lagi jika hal yang berlebihan itu adalah membenci. Maafkan Setya Novanto. Mungkin statement ini akan menuai kontroversi di berbagai kalangan.  Tapi, ada rasa prihatin yang dirasakan penulis akan tindakan-tindakan masyarakat yang berlebihan dalam membenci. Memaafkan bukan berarti kita harus melupakan kesalahan besar yang dilakukan oleh Setya Novanto dan meminta KPK untuk menutup kasusnya. Tidak menghujat, memojokkan dan memaki secara berlebihan, itu yang dimaksudkan oleh penulis. Ada baiknya masyarakat terutama mahasiswa lebih menekankan bersikap kritis dan membantu mencari solusi akan masalah Korupsi yang menjamur di Indonesia.

            Kita telah mengetahui bersama, bahwa pemerintah memang harus tegas dalam menangani berbagai kasus korupsi di Indonesia, mengingat banyaknya pihak yang dirugikan terutama masyarakat Indonesia. Namun demikian, membangun Negara Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia harus cerdas, cerdas dalam bertindak, berfikir, serta menggunakan media sosial. Kita mungkin bukan Nabi yang berhati besar dan selalu memaafkan juga membalas kejahatan dengan kebaikan hati. Setidaknya, jangan jadikan diri kita seperti mereka yang pintar namun tak berhati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar